Undang-Undang (UU) yang mengatur pers di Indonesia adalah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini menjamin kemerdekaan pers dan memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis serta perusahaan media, termasuk media siber. Namun, dalam praktiknya, terdapat tumpang tindih antara UU Pers dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang dapat berdampak pada kebebasan pers.
UU Pers dan Media Siber
UU No. 40 Tahun 1999 menetapkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendirikan perusahaan pers, yang harus berbadan hukum Indonesia. Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Selain itu, perusahaan pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat agama, mengganggu kerukunan antarumat beragama, atau bertentangan dengan kesusilaan masyarakat.
Untuk media siber, Dewan Pers telah menetapkan Pedoman Pemberitaan Media Siber melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/2012. Pedoman ini mengatur bahwa media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Media siber juga wajib menyediakan mekanisme pengaduan atas Isi Buatan Pengguna yang melanggar ketentuan tersebut.
Tumpang Tindih dengan UU ITE
Meskipun UU Pers memberikan perlindungan bagi jurnalis, dalam praktiknya, beberapa jurnalis dan media siber masih menghadapi jeratan hukum melalui UU ITE. Pasal-pasal dalam UU ITE, seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian, sering digunakan untuk mempidanakan jurnalis atas karya jurnalistik mereka. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Sebagai contoh, kasus Muhammad Irvan S, jurnalis dari Kendari, yang ditetapkan sebagai tersangka dan divonis bersalah karena menulis berita investigatif, menunjukkan bagaimana UU ITE dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis.
Upaya Perlindungan dan Revisi UU ITE
Untuk mengatasi tumpang tindih ini, Dewan Pers dan organisasi pers lainnya telah mendorong revisi UU ITE agar tidak mengancam kebebasan pers. Mereka menekankan pentingnya mengedepankan UU Pers dalam menangani sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik. Selain itu, Pedoman Pemberitaan Media Siber juga mengatur bahwa media siber yang tidak melayani hak jawab dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000.
Dengan demikian, meskipun UU Pers memberikan perlindungan bagi jurnalis dan media siber, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk memastikan bahwa UU ITE tidak digunakan untuk membatasi kebebasan pers di Indonesia.